Halaman

Senin, 23 Maret 2015

Salam Pramuka, dari Kami di Timur Indonesia


Selamat datang kakak, slamat datang kakak, selamat datang kami ucapkan.... itulah penggalan lagu sambutan ketika kami membina pramuka di SDK Langke Majok. Sapaan hangat dan wajah ceria penuh semangat mendamaikan hati kami.



 “Selamat siang semuanya” itulah kalimat pertama yang kami ucapkan. Dengan nada ceria nan penuh semangat merekapun menjawab.. “Selamat siang bu”. Selanjutnya kami mengawali dengan perkenalan diri. Kemudian kita berbincang hangat dengan mereka. Seperti umumnya “PRAMUKA” yang pernah saya ikuti, kegiatan ini dimulai dengan tepuk pramuka. Sebagian besar dari siswa kami sudah paham tentang tepuk pramuka ini. jadi tidak ada kendala yang berarti.

Kegiatan selanjutnya adalah memeriksa kerapihan. Kemudian kami menatap satu persatu siswa kami ini. Hati kami teriris miris. Periksa kerapihan? Apanya??? Tiba-tiba kami merasa bersalah telah memerintahkan itu.

               



Apa yang anda ketahui tentang pramuka selama ini? Untuk kami yang menempuh jenjang pendidikan pramuka di tanah jawa tentu paham bagaimana pramuka itu. iya, tepuk pramuka, salam pramuka, dan juga tentang kerapihan. Tentang seragam pramuka dan perlengkapannya. Bagaimana dengan itu? Bagaimana dengan Seragam pramuka lengkap, sepatu hitam, kaos kaki hitam, hasduk, topi pramuka, dan segala perlengkapannya itu? tentu anda tidak asing bukan?

Hari pertama kami mengisi kegiatan ini, kami berpakaian pramuka lengkap. Baju pramuka, hasduk, sepatu dan kaos kaki hitam. Lalu.... bagaimana dengan murid kami?? Bagaimana dengan mereka? Bagaimana dengan sepatu, baju, dan perlengkapan lainnya?

Mereka berpakaian lengkap? Tidak.. baju boleh saja seragam pramuka. Tapi bagaimana dengan seragamnya. Kami melihat jelas apa yang dikenakan murid-murid kami. Seragam lusuh, tanpa ikat pinggang, kancing baju tak beraturan dan terkadang menghilang. Lalu bagimana dengan sepatu? Tidak ada sepatu hitam, kaos kakipun sama. Sebagian dari murid kami ini hanya memakai sandal jepit yang telah menipis tergerus waktu dan lamanya perjalanan yang ditempuh untuk menuju ke sekolah. Kemudian, bagaimana dengan topi dan hasduk? Yang ini jelas tidak ada satupun siswa kami yang mengenakannya.


Tidak ada lagi periksa kerapihan. Kali ini kami membawa murid-murid kami ke belakang gedung sekolah yang sudah tak layak pakai. Sebuah alam bebas nan indah. Kita bisa melihat bukit-bukit dan hijaunya pepohonan, teriknya matahari, birunya langit, dan sesekali tiupan angin yang menentramkan jiwa. Alam ini memang indah. Tapi tunggu dulu... Anda melihat gedung di belakang kami. Sebuah gedung sekolah itu berdinding kayu, beralaskan tanah, dan tanpa daun jendela. Itulah salah satu sudut sekolah kami. Gedung itu digunakan untuk ruang kelas 1 sampai 3. “Gedung pintar” kami menyebutnya seperti itu. Karena di gedung  sangat sederhana itulah, anak-anak bangsa ini mulai mengenal dunia. Mengenal sedikit-demi sedikit. Memulai membaca dan berhitung.

                   
Kami berpegang satu sama lain, membentuk sebuah lingkaran dan membangun sebuah benteng pertahanan dengan penuh semangat. Kami disini memiliki tekad yang kuat. Membangun negeri dari titik terbawah yang bisa kami tapaki dan kami rangkul. Generasi anak bangsa yang bertekad mengubah dunia. Bukan merubahnya menjadi dunia moderen seperti yang sedang di gembar-gemborkan di media. Kami disini mencoba membangun dari titik yang mungkin tidak di mudah di jangkau. Dengan segala keterbatasan, kami mencoba meringankan beban mereka.

                
Kehidupan itu singkat bukan. Sesingkat ekstra pramuka hari ini. kami harus segera menyelesaikan kegiatan ini. Waktu telah menunjukan pukul 12.00 WITA, kami harus segera pergi dari sekolah ini. Anda tanya kenapa? Kita harus berbagi kawan? Anda bertanya berbagi apa? Tentu saja gedung sekolah kami.

Dibalik kesederhanaan dan keusangan gedung kami, kami masih harus berbagi dengan kakak SMA. Sebelum berbagi dengan SMA kami juga sempat berbagi gedung dengan SMP selama 3 tahun. Bukankah gedung kami hebat? Sekolah se-atap? Bukan. Ini murni gedung kami. Hanya saja SMA di daerah kami belum memiliki gedung sendiri, jadi untuk hampir tiga tahun ini, sekolah kami berbagi shift dengan SMA. Saat pagi hari itu adalah ruang kelas SD. Tapi saat waktu menunjukan 12.30 WITA ruangan itu berubah menjadi ruang kelas SMA. Kalian pernah berbagi dalam keterbatasan. Kami disini terbiasa seperti itu. Jadi.... “jangan hanya berbagi saat anda memiliki lebih, tapi berbagilah kapan saja dan saat apa saja. Berbagilah saat anda merasa kurang, maka disitu anda dapat merasaka nikmat “lebih” dari yang selama ini anda inginkan.”


(Baca cerita juga di pedulisiswamanggarai.blogspot,com)
"Mari hidup untuk berbagi dan berbagi untuk tetap hidup"

Retno Ristianingrum, SM3T angkatan IV Kab. Manggarai  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman

Get Code

pop2

pop