Halaman

Senin, 23 Maret 2015

AKHIRNYA MANGGARAI “NTT” (28 Agustus 2014)


28 Agustus 2014. Saya dan rombongan keluarga telah sampai di Bandara Ahmad Yani Semarang saat adzan subuh belum berkumandang. Kala itu, langit malam kota Semarang cukup cerah. Tidak ada bintang memang, tapi malam itu adalah saksi perjalanan hidupku selanjutnya. Perjalanan panjang telah saya awali sebelumnya. Menempuh perjalanan kurang lebih 200km dari Gombong menuju Semarang. Membelah heningnya malam di jalur tengah Jawa Tengah, mobil rombongan kami melaju dengan lancar.
28 Agustus 2014, sesuatu yang menakjubkan. Berpamitan dengan kedua orang tua dan sanak keluarga terasa mengharukan memang. Sesekali air mata ini jatuh, dan ingin rasanya raga ini tetap memeluk erat mereka. Rasanya ingin sekali membawa serta keluarga dalam perjalanan kehidupanku untuk satu tahun kedepan. Ini akan menjadi kali pertamanya saya meninggalkan keluarga tercinta dalam rentang waktu yang lama. Ya.. satu tahun, tanpa belaian lembut dan kasih sayang nyata dari keluarga. Terasa berat memang, tapi ketika saya melihat sekelompok orang berjaket hitam itu, sedikit-demi sedikit beban sayapun berkurang. Mereka yang berjaket hitam berlogo SM3T itu adalah keluarga saya selanjutnya.

Detik-detik keberangkatanpun tiba. Ada tangisan, senyuman, dan juga harapan. Tangisan seorang anak yang tau akan merindukan suasana ini. Senyuman seorang anak yang mencoba bertahan dari rasa rindu yang akan semakin dalam. Dan juga harapan seorang anak yang berharap mereka yang saya tinggalkan akan baik-baik saja.
Tak terasa langkah kaki saya semakin menjauh. Kali ini saya sudah tidak melihat mereka. Yang saya lihat kali ini adalah sisa-sisa air mata yang keluar dari beberapa kawan yang akan tumbuh menjadi keluarga. Saya yang melangkah dengan segenap harapan, senyuman, dan tak lupa sepenggal doa yang terbaik untuk kami semua. Untuk mereka yang saya tinggalkan dan juga untuk keluarga baru yang akan melewati satu tahun kedepan di tanah seberang.
Pejalanan dengan menggunakan pesawat menuju Bali. Ini pertama kalinya saya naik pesawat terbang. Tidak ada yang istimewa memang. Terasa biasa saja. Hanya saja sesekali saya melihat jendela, seraya berharap saya masih dapat melihat mereka, keluargaku. Perjalanan menuju Bandara Ngurah Rai Bali kurang lebih 70 menit. Sesekali saya tertidur, kemudian terbangun melihat jajaran gunung api di jawa timur, kemudian saya tertidur lagi. Sudah saya bilang benar-benar tidak ada yang menyenangkan.
Tiba di Bandara Ngurah Rai Bali. Hal pertama yang saya lakukan adalah menghubungi keluarga, makan, dan duduk. Bandara disini benar-benar berbeda dengan yang di Semarang. Lebih besar, rapih, bersih, dan ramai. Perjalanan selanjutnya “Bandara Ngurah Rai à Bandara Komodo Labuhan Bajo”. Sepertinya ini perjalanan yang menyenangkan.
Benar saja, ini kali pertamanya saya melihat jajaran pulau-pulau kecil nan gersang. Inilah Indonesia, inilah kepulauan Nusa Tenggara yang terkenal dengan Savana dan Stepanya. Kali ini mata saya tidak akan saya biarkan terpejam. Untuk kali pertamanya saya mengakui bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan. Melihat pulau-pulau cantik, pantai-pantai pasir putih yang bersih, dan kealamian masih terjaga. Inilah sisi lain Indonesia yang tidak bisa dilihat jika saya tetap di Jawa. Pengalaman baru yang menyenangkan.
Lombokà Sumbawa à Kepulauan Komodo à dan inilah Flores. Pulau gersang yang menjadi pulau keempat di Indonesia yang saya singgahi. Tiba di Bandara Komodo Labuhan Bajo, seketika langsung merasakan panasnya Flores. Ini benar-benar gersang, sepi, dan hanya pesawat yang membawa rombongan kami yang terparkir di bandara ini. Sesampainya di terminal kedatanganpun sama. Hanya ada rombongan kami, beberapa turis, dan sedikit sekali petugas bandaranya. Mungkin karena ini bandara baru, bahkan bandara ini masih dalam tahap pembangunan. Jadi wajar kalau bandara ini masih sangat sepi.
Perjalanan berlanjut dengan menggunakan angkutan darat menuju Kota Ruteng Kabupaten Manggarai. Perjalanan diawali dari sini, “Labuhan Bajo” Ibu Kota Kabupaten Manggarai Barat ini kini mulai mendunia. Tentu saja karena kota ini adalah kota pelabuhan utama menuju Taman Nasional Komodo. Komodo yang mendunia tapi belum menIndonesia. Mungkin, karena turis yang berkunjung ke Objek Wisata ini di dominasi oleh turis asing.
Pantai pasir putih, kota pelabuhan, dan panasnya Labuhan Bajo ini adalah paket lengkap yang tidak bisa di hindari. Tapi ada satu lagi yang menurut saya itu memprihatinkan, yaitu “ruwet nya kota ini. Tata kota Labuhan Bajo sama sekali tidak indah. Sampah, mobil, dan motor terparkir sembarangan dan juga aroma got yang menusuk hidung. Labuhan Bajo yang tak seindah di foto.  Di Labuhan Bajo ini kami hanya singgah sebentar untuk makan siang dan Sholat di Masjid sebelum melanjutkan perjalanan ke Ruteng.
Perjalanan dari Labuhan Bajo menuju Kota Ruteng kurang lebih 5 Jam. Perjalanan darat dengan menggunakan “oto bis” (sejenis Colt tanpa AC). Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang luar biasa. Jalanan berliku tajam dan terkadang berbatu. Hutanà Sawah à Hutan à Semak belukar, dll. Ini benar-benar luar biasa. Jalanan berliku tak lagi hanya sekedar tipe S, ada juga yang U, bahkan V. Manggarai yang luar biasa. Tapi tetap saja saya bisa tertidur dengan nyenyaknya.
Kabupaten Manggarai, gligen air, panel surya, anak-anak lusuh, dan kayu bakar itulah yang saya lihat sepanjang perjalanan ini. Tapi ada satu lagi, Baleho besar di pinggir jalan bertuliskan “WAEREBO” Kecamatan Satarmese Barat. Saya harus kesana.

Akhirnya “Selamat Datang Kota Ruteng”. Udara dingin menusuk tulang, air membeku seperti es, dan juga aroma minyak tanah dari makanan yang tersaji. Inilah Kota Ruteng Manggarai, tempat singgah sebelum saya benar-benar mengabdi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman

Get Code

pop2

pop