31 Oktober 2015, Aku memulai perjalanan baru menuju
pulau sebrang. Pulau Sumatera, yang dalam bahasa sansekerta bernama
“Suwarnadwipa atau Suvarnabhumi” yang berarti pulau emas. Bangsa Eropa menyebut
pulau ini sebagai Pulau Sumatera. Yang akhirnya mulai era kedatangan bangsa
Eropa nama pulau di utara Pulau Jawa ini disebut sebagai Pulau Sumatera baik
secara nasional maupun internasional. Pulau emas, seperti apakah pulau ini?
Sebenarnya saya lebih tertarik dengan kebudayaan asli pulau ini.
Sumatera, sebuah pulau dimana Kerajaan Sriwijaya
dulu itu bisa meng-Asia. Maksudku
pengaruhnya luar biasa sampai di kawasan Asia Selatan dan Tenggara. Meski
Kerajaan Sriwijaya sudah lama runtuh, tapi peninggalan budayanya masih cukup
dikenang oleh bangsa tentangga Indonesia. Thailand, satu-satunya negara di Asia
Tenggara yang tidak pernah dijajah. Ada yang unik dari negara ini, sebuah nama
untuk bandara di sana. Bandara Bangkok-Thailand bernama “Suvarnabhumi” mungkin
orang Indonesia patut berbangga dengan nama itu, karena nama itu merupakan nama
sansekerta dari Pulau Sumatera. Menurutku Thailand memang masih menjaga dengan
baik hubungan Kerajaan Siam (Thailand di masa lalu) dengan Tanah Kerajaan
Sriwijaya.
Selain Sumatera “Suvarnabhumi” ada juga yang
menakjubkan dari sejarah lain pulau Sumatera. Beberapa orang mungkin masih
asing dengan nama kota di pulau ini “Kota Barus”. Sebuah kota kecil di
Kabupaten Tapanuli Tengah ini sudah tertulis dalam literature di negara-negara
Eropa dan Timur Tengah. Karena apa? Tentu saja karena dari kota inilah gerbang
pertama kali perdagangan di kawasan Indonesia sekarang dengan Bangsa Eropa dan
Timur Tengah di mulai.
Pengetahuanku masih cukup awam tentang pulau ini.
Sekedar membaca artikel yang tidak sengaja menarik untuk aku baca. Tapi yang
jelas, pulau yang akan aku tinggali selama dua bulan ini tidak kalah dari Jawa.
Pulau yang sangat berpengaruh bagi Indonesia. Aku tidak akan bercerita panjang lebar tentang
sejarah pulau ini, takut salah.. hahaha.. baiklah. Aku akan bercerita tentang
kesan pertama menginjakkan kaki disalah satu kota di Pulau Sumatera.
Bandara Sultan Syarif Kasim II |
31 Oktober 2015, akhirnya Pekanbaru. Medarat dengan
selamat dan tanpa asap. Maklum kota ini habis dilanda kabut asap selama dua
bulan. Kesan pertama menginjakkan kaki di tanah ini, yang pasti panas. Hampir
sama dengan Labuhan Bajo, bedanya disini tidak bisa menikmati birunya laut.
Bandara Sultan Syarif Kasim II cukup nyaman dan lebih besar dari pada bandara
Husein Sastranegara sih kayaknya. Setelah mengambil perbekalan kami selama 2
bulan, perjalanan berlanjut menuju rumah kuning di Jl. Kuantan II Kecamatan 50
Kota Pekanbaru. Kalau tidak salah itu alamat rumah tempat kami menghabiskan
malam-malam di Pekanbaru.
Menyusuri jalanan ibu kota Provinsi Riau ini, kesan
pertama terlihat nyaman. Jalanan lebih didominasi oleh kendaraan roda empat.
Bangunan khas melayu dan papan nama tempat dilengkapi dengan huruf arab. Waahhh
setelah aku setahun hidup ditanah seribu gereja, akhirnya aku merasakan tanah
seribu masjid.
Bangunan perkantoran dan fasilitas umum bernuansa
melayu dengan arsitektur unik dan terkesan mewah dapat dijumpai di sepanjang
CBD/Pusat Kota Pekanbaru. Sekitar 30 menit dari bandara, akhirnya rombongan
kami sampai di rumah kuning di Jalan Kuantan II. Ternyata tempat tinggal kami
tidak terlalu jauh dari CBD Kota Pekanbaru. Yaa.. semacam hidup di kota. Ini
benar-benar di luar dugaanku. Tinggal dikota dan ya… ternyata Pekanbaru itu
panas.
Seperti itulah kesan pertamaku menginjakan kaki dan
merasakan suasana Kota Pekanbaru. Sebenarnya ada yang membuatku kecewa, aku
menginginkan melihat rumah khas Riau disini. Tapi mungkin karena di kota,
rumah-rumah disini sudah bergaya modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar