Halaman

Senin, 11 Januari 2016

Akhirnya “Suvarnabhumi”



31 Oktober 2015, Aku memulai perjalanan baru menuju pulau sebrang. Pulau Sumatera, yang dalam bahasa sansekerta bernama “Suwarnadwipa atau Suvarnabhumi” yang berarti pulau emas. Bangsa Eropa menyebut pulau ini sebagai Pulau Sumatera. Yang akhirnya mulai era kedatangan bangsa Eropa nama pulau di utara Pulau Jawa ini disebut sebagai Pulau Sumatera baik secara nasional maupun internasional. Pulau emas, seperti apakah pulau ini? Sebenarnya saya lebih tertarik dengan kebudayaan asli pulau ini.


Sumatera, sebuah pulau dimana Kerajaan Sriwijaya dulu  itu bisa meng-Asia. Maksudku pengaruhnya luar biasa sampai di kawasan Asia Selatan dan Tenggara. Meski Kerajaan Sriwijaya sudah lama runtuh, tapi peninggalan budayanya masih cukup dikenang oleh bangsa tentangga Indonesia. Thailand, satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah. Ada yang unik dari negara ini, sebuah nama untuk bandara di sana. Bandara Bangkok-Thailand bernama “Suvarnabhumi” mungkin orang Indonesia patut berbangga dengan nama itu, karena nama itu merupakan nama sansekerta dari Pulau Sumatera. Menurutku Thailand memang masih menjaga dengan baik hubungan Kerajaan Siam (Thailand di masa lalu) dengan Tanah Kerajaan Sriwijaya.


Selain Sumatera “Suvarnabhumi” ada juga yang menakjubkan dari sejarah lain pulau Sumatera. Beberapa orang mungkin masih asing dengan nama kota di pulau ini “Kota Barus”. Sebuah kota kecil di Kabupaten Tapanuli Tengah ini sudah tertulis dalam literature di negara-negara Eropa dan Timur Tengah. Karena apa? Tentu saja karena dari kota inilah gerbang pertama kali perdagangan di kawasan Indonesia sekarang dengan Bangsa Eropa dan Timur Tengah di mulai.

Pengetahuanku masih cukup awam tentang pulau ini. Sekedar membaca artikel yang tidak sengaja menarik untuk aku baca. Tapi yang jelas, pulau yang akan aku tinggali selama dua bulan ini tidak kalah dari Jawa. Pulau yang sangat berpengaruh bagi Indonesia.  Aku tidak akan bercerita panjang lebar tentang sejarah pulau ini, takut salah.. hahaha.. baiklah. Aku akan bercerita tentang kesan pertama menginjakkan kaki disalah satu kota di Pulau Sumatera.

Bandara Sultan Syarif Kasim II

31 Oktober 2015, akhirnya Pekanbaru. Medarat dengan selamat dan tanpa asap. Maklum kota ini habis dilanda kabut asap selama dua bulan. Kesan pertama menginjakkan kaki di tanah ini, yang pasti panas. Hampir sama dengan Labuhan Bajo, bedanya disini tidak bisa menikmati birunya laut. Bandara Sultan Syarif Kasim II cukup nyaman dan lebih besar dari pada bandara Husein Sastranegara sih kayaknya. Setelah mengambil perbekalan kami selama 2 bulan, perjalanan berlanjut menuju rumah kuning di Jl. Kuantan II Kecamatan 50 Kota Pekanbaru. Kalau tidak salah itu alamat rumah tempat kami menghabiskan malam-malam di Pekanbaru.



Menyusuri jalanan ibu kota Provinsi Riau ini, kesan pertama terlihat nyaman. Jalanan lebih didominasi oleh kendaraan roda empat. Bangunan khas melayu dan papan nama tempat dilengkapi dengan huruf arab. Waahhh setelah aku setahun hidup ditanah seribu gereja, akhirnya aku merasakan tanah seribu masjid.   















Bangunan perkantoran dan fasilitas umum bernuansa melayu dengan arsitektur unik dan terkesan mewah dapat dijumpai di sepanjang CBD/Pusat Kota Pekanbaru. Sekitar 30 menit dari bandara, akhirnya rombongan kami sampai di rumah kuning di Jalan Kuantan II. Ternyata tempat tinggal kami tidak terlalu jauh dari CBD Kota Pekanbaru. Yaa.. semacam hidup di kota. Ini benar-benar di luar dugaanku. Tinggal dikota dan ya… ternyata Pekanbaru itu panas.

Seperti itulah kesan pertamaku menginjakan kaki dan merasakan suasana Kota Pekanbaru. Sebenarnya ada yang membuatku kecewa, aku menginginkan melihat rumah khas Riau disini. Tapi mungkin karena di kota, rumah-rumah disini sudah bergaya modern.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman

Get Code

pop2

pop