Berdasarkan hasil Survey, wong semarang itu orang yang paling bahagia di Indonesia loh... wow.... benarkah? benarkah? (hehe, hayo2... yang merasa orang semarang.... hehe). Jujur Pertama Kali saya membaca arikel ini saya kaget sekali,,,, merasa telah dua tahun saya berdomisili di ibukota provinsi jawa tengah ini, saya masih kurang percaya benarkah Orang Semarang; Orang Paling Bahagia di Indonesia! ^^ ?????????
Survei: Warga Semarang Paling Bahagia
Sabtu, 27/10/2007 JAKARTA(SINDO) – Situasi rileks dan relatif sepi dari pengaruh stres membuat warga Kota Semarang dinobatkan sebagai orang paling bahagia berdasarkan survei indeks manusia Indonesia bahagia (Indonesian Happiness Index/IHI) Frontier Consulting Group (FCG).
Dari hasil survei diketahui faktor religiusitas juga berpengaruh terhadap tingkat kebahagiaan. Dalam FCG, warga Semarang memperoleh nilai IHI 48,75. Sementara Kota Makassar menduduki peringkat kedua dengan nilai IHI 47,95, menyusul kemudian Bandung (IHI: 47,88), Surabaya (IHI: 46,20), Jakarta (IHI: 46,20), dan Medan (IHI: 46,2). Chairman FCG Handi Irawan menyatakan, survei yang dilakukan pada enam kota besar cabang FCG selama tiga pekan itu, melibatkan 1.800 responden dengan potensi sampling error 2,5%. ”Kami melakukan survei di enam kota besar di Indonesia dengan menggunakan metode acak, guna merefleksikan masyarakat Indonesia,” ujar Handy.
Dia menjelaskan, hasil survei kali ini tidak jauh dari perkiraan bahwa warga Jakarta lebih tidak bahagia dibandingkan warga kota lain. Penyebabnya, dalam menjalani kehidupan warga Jakarta penuh stres serta tidak bisa rileks. “Orang Semarang lebih bisa rileks,juga tidak stres,dan mereka mungkin memiliki interes yang lebih baik.Walaupun memang di Semarang sosial ekonomi relatif lebih rendah dibanding Jakarta,” kata Handi dalam acara pemaparan IHI di Jakarta kemarin.
Menurut Handi, tingkat kebahagiaan seseorang berkorelasi dengan tingkat ekspektasi dengan kondisi faktual yang dialami. Jika orang memiliki ambisi terlalu berlebihan sementara fakta kehidupan yang dia jalani jauh di bawah dari yang diinginkan, orang itu akan menjadi sangat tidak bahagia. Sebaliknya, jika seseorang memiliki ekspektasi rendah maka dia akan cenderung merasa lebih bahagia.
“Demikianlah profil orang Semarang, dengan karakter nrimo ternyata lebih banyak orang yang mengaku bahagia meskipun tingkat ekonomi dibandingkan kota lain lebih rendah.Ketimbang penduduk Jakarta dengan tingkat ekonomi lebih tinggi, namun dengan tingginya tuntutan dan stres, ternyata mengakibatkan banyak penduduk Jakarta menjadi tidak bahagia,” ujar Handi. Handi menambahkan, faktor yang paling memengaruhi kebahagiaan seseorang adalah sosial ekonomi dan pendidikan.
Semakin tinggi sosial ekonomi, pendidikannya juga lebih tinggi, memberikan peluang seseorang menjadi lebih bahagia. Namun ternyata masih ada faktor lain, yaitu religiusitas. “Orang yang memiliki iman merasa dekat dengan Tuhan, rata-rata hidupnya bahagia,”paparnya. Dia menjelaskan, kriteria responden yang diteliti dalam survei ini adalah pria dan wanita usia 15 hingga 65 tahun dan memiliki status ekonomi (Social Economic Status/ SES) A-E, yakni mulai pendapatan kurang dari Rp750.000 per bulan sampai pendapatan di atas Rp3,5 juta.
Metode pengambilan sampel dilakukan dengan multistage random sampling. Responden diwawancara secara langsung dengan kuesioner. Beberapa pertanyaan untuk mengukur IHI di antaranya; untuk kategori hedonis level of affect (variabel HLA) yakni tentang perasaan yang pernah dialami responden. ”Untuk kategori ada lima pertanyaan yang positif mulai bangga, senang, dan lainnya dan lima pertanyaan mengenai perasaan yang negatif yakni lelah, stres, dan lainnya,” paparnya. Kemudian untuk kategori contentment (kepuasan/kesenangan hati), ujar dia, responden disodori pertanyaan yang terkait kesuksesan dalam menggapai tujuan dan cita-cita (variabel CTM1).
Di mana untuk kategori ini jawaban dibuat dalam skala 1–5 dengan perincian 1 untuk sangat tidak sukses dan 5 untuk sangat sukses. Sementara pertanyaan seputar keberhasilan dalam memenuhi keinginan (variabel CTM2), jawaban juga diberikan dalam lima skala yakni 1 untuk skala sangat tidak berhasil dan 5 sangat berhasil. ”Dua jenis pertanyaan ini kemudian diolah dengan menggunakan teknik structual equation modelling di mana kebahagiaan latent variable.Nilai koefisien yang didapatkan mendapatkan nilai persamaan, untuk selanjutnya digunakan untuk menghitung skor kebahagiaan,”tambahnya.
Dengan menggunakan persamaan tersebut,kata dia,kemudian digunakan untuk menghitung skor minimum yang mungkin. Mulai dari IHI 0 (sangat tidak bahagia) atau skor maksimum 100 (sangat bahagia).Dari hasil survei tersebut, variabel yang paling memengaruhi skor kebahagiaan CTM1 (kesuksesan dalam memenuhi tujuan atau cita-cita) diikuti variabel CTM2 (keberhasilan dalam memenuhi keinginan-keinginan, dan terakhir variabel HLA (koefisien lengkap dari masing-masing variabel).
Dengan demikian, hal-hal yang bersifat jangka panjang (tujuan dan cita-cita), lebih memengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang dibandingkan hal-hal yang bersifat jangka pendek (keinginan dan apa yang dirasakan dalam satu bulan terakhir). Handi menjelaskan, secara nasional IHI tercatat sebesar 47,96 atau relatif tidak bahagia dalam skala 1–100. Padahal, kata dia, berdasarkan survei world happiness index, Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara dengan penduduk paling berbahagia di dunia.
Sementara urutan pertama ditempati Vanuatu, salah satu negara di Kepulauan Pasifik sebagai negara dengan penduduk paling berbahagia di dunia. Urutan ketiga dan selanjutnya ditempati, Jerman, Jepang, Singapura, dan Amerika. “Jadi kalau ada orang Indonesia yang ingin pergi ke Singapura atau bahkan tinggal di sana untuk mencari kebahagiaan, itu salah karena ternyata orang Singapura lebih tidak bahagia dibandingkan orang Indonesia,”paparnya. (abdul malik)
Sabtu, 27/10/2007 JAKARTA(SINDO) – Situasi rileks dan relatif sepi dari pengaruh stres membuat warga Kota Semarang dinobatkan sebagai orang paling bahagia berdasarkan survei indeks manusia Indonesia bahagia (Indonesian Happiness Index/IHI) Frontier Consulting Group (FCG).
Dari hasil survei diketahui faktor religiusitas juga berpengaruh terhadap tingkat kebahagiaan. Dalam FCG, warga Semarang memperoleh nilai IHI 48,75. Sementara Kota Makassar menduduki peringkat kedua dengan nilai IHI 47,95, menyusul kemudian Bandung (IHI: 47,88), Surabaya (IHI: 46,20), Jakarta (IHI: 46,20), dan Medan (IHI: 46,2). Chairman FCG Handi Irawan menyatakan, survei yang dilakukan pada enam kota besar cabang FCG selama tiga pekan itu, melibatkan 1.800 responden dengan potensi sampling error 2,5%. ”Kami melakukan survei di enam kota besar di Indonesia dengan menggunakan metode acak, guna merefleksikan masyarakat Indonesia,” ujar Handy.
Dia menjelaskan, hasil survei kali ini tidak jauh dari perkiraan bahwa warga Jakarta lebih tidak bahagia dibandingkan warga kota lain. Penyebabnya, dalam menjalani kehidupan warga Jakarta penuh stres serta tidak bisa rileks. “Orang Semarang lebih bisa rileks,juga tidak stres,dan mereka mungkin memiliki interes yang lebih baik.Walaupun memang di Semarang sosial ekonomi relatif lebih rendah dibanding Jakarta,” kata Handi dalam acara pemaparan IHI di Jakarta kemarin.
Menurut Handi, tingkat kebahagiaan seseorang berkorelasi dengan tingkat ekspektasi dengan kondisi faktual yang dialami. Jika orang memiliki ambisi terlalu berlebihan sementara fakta kehidupan yang dia jalani jauh di bawah dari yang diinginkan, orang itu akan menjadi sangat tidak bahagia. Sebaliknya, jika seseorang memiliki ekspektasi rendah maka dia akan cenderung merasa lebih bahagia.
“Demikianlah profil orang Semarang, dengan karakter nrimo ternyata lebih banyak orang yang mengaku bahagia meskipun tingkat ekonomi dibandingkan kota lain lebih rendah.Ketimbang penduduk Jakarta dengan tingkat ekonomi lebih tinggi, namun dengan tingginya tuntutan dan stres, ternyata mengakibatkan banyak penduduk Jakarta menjadi tidak bahagia,” ujar Handi. Handi menambahkan, faktor yang paling memengaruhi kebahagiaan seseorang adalah sosial ekonomi dan pendidikan.
Semakin tinggi sosial ekonomi, pendidikannya juga lebih tinggi, memberikan peluang seseorang menjadi lebih bahagia. Namun ternyata masih ada faktor lain, yaitu religiusitas. “Orang yang memiliki iman merasa dekat dengan Tuhan, rata-rata hidupnya bahagia,”paparnya. Dia menjelaskan, kriteria responden yang diteliti dalam survei ini adalah pria dan wanita usia 15 hingga 65 tahun dan memiliki status ekonomi (Social Economic Status/ SES) A-E, yakni mulai pendapatan kurang dari Rp750.000 per bulan sampai pendapatan di atas Rp3,5 juta.
Metode pengambilan sampel dilakukan dengan multistage random sampling. Responden diwawancara secara langsung dengan kuesioner. Beberapa pertanyaan untuk mengukur IHI di antaranya; untuk kategori hedonis level of affect (variabel HLA) yakni tentang perasaan yang pernah dialami responden. ”Untuk kategori ada lima pertanyaan yang positif mulai bangga, senang, dan lainnya dan lima pertanyaan mengenai perasaan yang negatif yakni lelah, stres, dan lainnya,” paparnya. Kemudian untuk kategori contentment (kepuasan/kesenangan hati), ujar dia, responden disodori pertanyaan yang terkait kesuksesan dalam menggapai tujuan dan cita-cita (variabel CTM1).
Di mana untuk kategori ini jawaban dibuat dalam skala 1–5 dengan perincian 1 untuk sangat tidak sukses dan 5 untuk sangat sukses. Sementara pertanyaan seputar keberhasilan dalam memenuhi keinginan (variabel CTM2), jawaban juga diberikan dalam lima skala yakni 1 untuk skala sangat tidak berhasil dan 5 sangat berhasil. ”Dua jenis pertanyaan ini kemudian diolah dengan menggunakan teknik structual equation modelling di mana kebahagiaan latent variable.Nilai koefisien yang didapatkan mendapatkan nilai persamaan, untuk selanjutnya digunakan untuk menghitung skor kebahagiaan,”tambahnya.
Dengan menggunakan persamaan tersebut,kata dia,kemudian digunakan untuk menghitung skor minimum yang mungkin. Mulai dari IHI 0 (sangat tidak bahagia) atau skor maksimum 100 (sangat bahagia).Dari hasil survei tersebut, variabel yang paling memengaruhi skor kebahagiaan CTM1 (kesuksesan dalam memenuhi tujuan atau cita-cita) diikuti variabel CTM2 (keberhasilan dalam memenuhi keinginan-keinginan, dan terakhir variabel HLA (koefisien lengkap dari masing-masing variabel).
Dengan demikian, hal-hal yang bersifat jangka panjang (tujuan dan cita-cita), lebih memengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang dibandingkan hal-hal yang bersifat jangka pendek (keinginan dan apa yang dirasakan dalam satu bulan terakhir). Handi menjelaskan, secara nasional IHI tercatat sebesar 47,96 atau relatif tidak bahagia dalam skala 1–100. Padahal, kata dia, berdasarkan survei world happiness index, Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara dengan penduduk paling berbahagia di dunia.
Sementara urutan pertama ditempati Vanuatu, salah satu negara di Kepulauan Pasifik sebagai negara dengan penduduk paling berbahagia di dunia. Urutan ketiga dan selanjutnya ditempati, Jerman, Jepang, Singapura, dan Amerika. “Jadi kalau ada orang Indonesia yang ingin pergi ke Singapura atau bahkan tinggal di sana untuk mencari kebahagiaan, itu salah karena ternyata orang Singapura lebih tidak bahagia dibandingkan orang Indonesia,”paparnya. (abdul malik)
--from:http://republikblog.wordpress.com--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar