Aku pikir sifat anti sosialku semakin
akut. Kenapa aku begitu takut bertemu dunia luar? Semakin hari ada kekuatan
yang membuatku tetap tertahan di ruang sempit ini. Ini bukan ruang yang nyaman,
bahkan tidak ada kenyamanan sama sekali. Aku terdiam seolah hidupku damai. Tapi
otakku masih tidak bisa berdamai dengan dengan hidupku ini.
Ketakutan sosialku semakin tinggi,
bahkan aku tidak berani untuk sekedar menyapa orang-orang yang dulu aku kenal. Ada
beban sosial yang teramat sangat yang mengganjal pikiranku. Langkahku selalu
tertahan. Dan kegiatankupun jauh dari kata berguna.
Aku telah tumbuh menjadi Retno
Ristianingrum yang berusia 24 tahun dan telah menyelesaikan study strata satu
ku. Bahkan aku telah mampu berjalan jauh sampai di Flores sana. Tapi kenapa aku
masih jauh dari kata dewasa? Aku pikir ini bukan lagi saatnya bagiku hanya
berorientasi pada mimpi yang tidak masuk akal. Aku sudah memutuskan menyerah
terhadap impianku semenjaka aku menulis “Retno Ristianingrum, mau jadi apa kamu”.
Aku sudah melewati hari-hari yang
panjang setelah penulisan itu. Dan akupun masih sama. Sampai saat ini akupun
masih saja tidak tahu akan menjadi seperti apa aku nantinya. Bahkan keputusan
yang telah aku ambil dan telah aku lalui setengahpun bernasib sama. Setengah berikutnya
masih terlihat semu. Dan akupun belum mempunyai gambaran untuk keputusan
berikutnya. Lagi-lagi mau jadi apa lagi kamu???
Pertanyaan itu selalu membebani
langkahku. Setiap hari aku merindukan kedamaian masa anak-anak yang tidak
mungkin terulang. Jika diamku nampak damai, itu tidak sama sekali. Hidupku jauh
dari kata damai. Tidak, sepertinya memang tidak ada kedamaian dalam hidup
seseorang. Bahkan orang-orang yang nampak damaipun mungkin merasakan hal yang
sama.
Kemudian aku mencoba melangkah. Tapi
enggan, sangat enggan. Aku ingin merubah kehidupanku saat ini, tapi beban ini
sangat berat. Sungguh aku ingin memperbaiki kondisi keluargaku saat ini. Aku
ingin meringankan beban orang tua. Tapi, apa yang terjadi. Bahkan di 24 tahunku
ini aku masih menjadi beban bagi mereka.
Ada rasa bersalah untuk banyak hal. Mengenai
posisiku sebagai sulung dan tuntutan sosial masyarakat. Jika kesuksesan sosial dinilai
dari segi materi yang telah dicapai maka nilai untuk diriku masih jauh dari
nilai Nol. Jika kesuksesan sosial dinilai dari seberapa penting kedudukanmu
dalam masyarakat, akupun bernilai sama, jauh dari nilai NOL. Dan jika
kebahagiaan di lihat dari seberapa banyak materi yang telah kamu berikan kepada
keluarga, maka nilaiku jauh sekali dari nilai NOL. 24 Tahun Retno
Ristianingrum. Sekarang aku tahu kenapa orang-orang gila dengan bekerja. Karena
ada kebahagiaan sosial yang dikejar. Tentang pencapaian yang nampak sukses
secara sosial.
Kehidupan sosial yang hanya dinilai dari
segi seberapa besar pencapaian ekonomi yang kamu capai. Tentang seberapa banyak
koneksi yang kamu bangun. Dan tentang seberapa banyak orang lain yang
terkagum-kagum dengan keberhasilanmu. Dan tentang keadaan dimana kamu menduduki
posisi penting dalam lingkup sosial itu. Mungkin karena aku sama sekali tidak
memiliki bekal yang cukup untuk membangun benteng kepercayaan diriku di lingkup
sosial, hingga aku tidak mampu bergaul secara wajar di dunia luar sana. Dan tetap
memilih berdiam diri seakan bahagia. Menampilkan sisi ceria melalui berbagai
media sosial. Dan menulis kegalauan hati di blog pribadi.
24 Tahun Retno Ristianingrum,
Haruskah kamu
menulis kembali tentang “mau jadi apa kamu?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar