Halaman

Senin, 28 September 2015

Anti Sosial (Embuh)



Aku pikir sifat anti sosialku semakin akut. Kenapa aku begitu takut bertemu dunia luar? Semakin hari ada kekuatan yang membuatku tetap tertahan di ruang sempit ini. Ini bukan ruang yang nyaman, bahkan tidak ada kenyamanan sama sekali. Aku terdiam seolah hidupku damai. Tapi otakku masih tidak bisa berdamai dengan dengan hidupku ini.

Ketakutan sosialku semakin tinggi, bahkan aku tidak berani untuk sekedar menyapa orang-orang yang dulu aku kenal. Ada beban sosial yang teramat sangat yang mengganjal pikiranku. Langkahku selalu tertahan. Dan kegiatankupun jauh dari kata berguna.

Aku telah tumbuh menjadi Retno Ristianingrum yang berusia 24 tahun dan telah menyelesaikan study strata satu ku. Bahkan aku telah mampu berjalan jauh sampai di Flores sana. Tapi kenapa aku masih jauh dari kata dewasa? Aku pikir ini bukan lagi saatnya bagiku hanya berorientasi pada mimpi yang tidak masuk akal. Aku sudah memutuskan menyerah terhadap impianku semenjaka aku menulis “Retno Ristianingrum, mau jadi apa kamu”.


Aku sudah melewati hari-hari yang panjang setelah penulisan itu. Dan akupun masih sama. Sampai saat ini akupun masih saja tidak tahu akan menjadi seperti apa aku nantinya. Bahkan keputusan yang telah aku ambil dan telah aku lalui setengahpun bernasib sama. Setengah berikutnya masih terlihat semu. Dan akupun belum mempunyai gambaran untuk keputusan berikutnya. Lagi-lagi mau jadi apa lagi kamu???

Pertanyaan itu selalu membebani langkahku. Setiap hari aku merindukan kedamaian masa anak-anak yang tidak mungkin terulang. Jika diamku nampak damai, itu tidak sama sekali. Hidupku jauh dari kata damai. Tidak, sepertinya memang tidak ada kedamaian dalam hidup seseorang. Bahkan orang-orang yang nampak damaipun mungkin merasakan hal yang sama.

Kemudian aku mencoba melangkah. Tapi enggan, sangat enggan. Aku ingin merubah kehidupanku saat ini, tapi beban ini sangat berat. Sungguh aku ingin memperbaiki kondisi keluargaku saat ini. Aku ingin meringankan beban orang tua. Tapi, apa yang terjadi. Bahkan di 24 tahunku ini aku masih menjadi beban bagi mereka.

Ada rasa bersalah untuk banyak hal. Mengenai posisiku sebagai sulung dan tuntutan sosial masyarakat. Jika kesuksesan sosial dinilai dari segi materi yang telah dicapai maka nilai untuk diriku masih jauh dari nilai Nol. Jika kesuksesan sosial dinilai dari seberapa penting kedudukanmu dalam masyarakat, akupun bernilai sama, jauh dari nilai NOL. Dan jika kebahagiaan di lihat dari seberapa banyak materi yang telah kamu berikan kepada keluarga, maka nilaiku jauh sekali dari nilai NOL. 24 Tahun Retno Ristianingrum. Sekarang aku tahu kenapa orang-orang gila dengan bekerja. Karena ada kebahagiaan sosial yang dikejar. Tentang pencapaian yang nampak sukses secara sosial.

Kehidupan sosial yang hanya dinilai dari segi seberapa besar pencapaian ekonomi yang kamu capai. Tentang seberapa banyak koneksi yang kamu bangun. Dan tentang seberapa banyak orang lain yang terkagum-kagum dengan keberhasilanmu. Dan tentang keadaan dimana kamu menduduki posisi penting dalam lingkup sosial itu. Mungkin karena aku sama sekali tidak memiliki bekal yang cukup untuk membangun benteng kepercayaan diriku di lingkup sosial, hingga aku tidak mampu bergaul secara wajar di dunia luar sana. Dan tetap memilih berdiam diri seakan bahagia. Menampilkan sisi ceria melalui berbagai media sosial. Dan menulis kegalauan hati di blog pribadi.

24 Tahun Retno Ristianingrum,

Haruskah kamu menulis kembali tentang “mau jadi apa kamu?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman

Get Code

pop2

pop